Ada banyak seni yang harus kita hidupkan dalam hubungan persaudaraan di antara kita. Seperti adab taghaaful, atau etika berpura-pura tidak tahu terhadap kekeliruan yang dilakukan saudara kita.
Sikap taghaaful, ternyata juga mencakup etika pura pura tidak tahu apa
yang telah kita kobarkan kepada saudara. Inilah yang ada dalam naungan
ukhuwah atau persaudaraan dalam Islam. Allah swt berfirman “Wa laa
tamnun tastaktsir"(QS. Al Muddatsir: 6). Para ulama menguraikan kata
“wa laa tamnun” dalam ayat itu dengan anjuran agar tidak menyebut nyebut
pemberian dan apa yang telah engkau berikan kepada saudaramu. “Karena
sebenarnya itu bukan milikmu. Harta yang engkau berikan kepada orang
lain itu adalah pemberian Allah dan bukan milikmu. Jadi, engkau hanya
ditetapkan oleh Allah menjadi sebab atau perantara yang bisa
menyampaikan harta itu. Karenanya, pada dasarnya dalam hal ini, pujian
hanya milik Allah swt atas nikmat ini. Dan penting diingat bahwa akhlak
adalah kelebihan manusia di banding makhluk yang lain ”.
Saudaraku,
Sikap
mulia, sikap memberi untuk orang lain adalah ibadah kepada Allah swt
yang begitu besar nilai pahalanya dan sangat baik pengaruh sosialnya.
Sama halnya, ketika kita menggunakan harta untuk disalurkan pada sesuatu
yang tidak diridhai Allah swt, pun merupakan bentuk kemaksiatan kepada
Allah swt, dan bisa menimbulkan efek sosial yang buruk.
Ketika
ada seorang laki – laki yang berkata kasar kepada Abu Darda, sahabat
Rasulullah itu mengatakan, “Jangan terlalu dalam mencaci kami. Letakkan
ruang untuk kebaikan. Karena kami tidak menghargai orang ynag bermaksiat
pada Allah diantara kami, lebih dari penghargaan kami pada orang yang
melakukan ketaatan kepada Allah”
Cicit Rasulullah saw, Ali bin Al Hasan yang memiliki julukan Zainal Abidin ra, pernah pula dicaci oleh seseorang saat
ia sedang berjalan bersama para pengikutnya dan sejumlah pembantunya.
Ali bin Al Hasan berpura pura tidak mendengar caci maki orang itu. Namun
orang tersebut, berulang kali mengungkapkan kata kata yang lebih kasar
dengan berteriak di depan Ali bin Al Hasan. Saat itulah, orang orang
yang tengah berjalan menyertai cucu Rasulullah itu, terpicu amarah
mereka. Mereka ingin memukul orang yang mencaci itu. Tetapi Ali bin Al
Hasan menyergahnya dengan mengatakan, “Tunggu!” Ia kemudian mendatangi orang itudan mengatakan pelan, “ Masalah-masalah
kami yang tidak engkau ketahui lebih banyak dari yang engkau ketahui.
Apakah engkau ingin tahu lebih banyak tentang itu?” Mendengar hal itu,
orang yang semula mencaci maki Ali bin Al Hasan terdiam malu. Ali bin Al
Hasan lalu memberikan sorban kepada laki laki itu, dengan tambahan
seribu dirham. Orang itu lalu mengatakan, “saya bersaksi bahwa engkau
benar benar cucu Rasulullah saw”.
Saudaraku,
Mari
kita ambil pelajaran lebih banyak dari perilaku para salafushshalih
tentang adab taghaaful ini. Pernah suatu ketika, komandan perang
Quthaibah bin Muslin Al Bahily didatangi seseorang yang ingin meminta
sesuatu padanya. Orang itu dipersilahkan menghadap duduk di hadapan
Quthaibah. Ia meletakan pedangnya yang masih terhunus dan tanpa sengaja
ketajaman pedang itu melukai jari jari Quthaibah hingga berdarah. Pemuda
itu tidak tahu. Quthaibah pun berusaha diam dan terus mendengarkan apa
permasalahan pemuda itu. Para pengiring Quthaibah yang juga duduk di
sekelilingnya juga diam. Mereka ingin bicara tapi segan dengan
kewibawaan Quthaibah. Sampai setelah pemuda itu selesai menyampaikan
permintaannya, ia kemudian berterima kasih dan pergi. Setelah itulah,
Quthaibah meminta sapu tangan untuk segera membersihkan darah yang terus
mengucur dari jari kakinya. “Mengapa engkau tidak sampaikan saja pada
pemuda itu wahai Quthaibah?” tanya salah satu sahabatnya. “Aku takut
ucapan itu akan menghalanginya dari menyampaikan keperluannya” jawab
Quthaibah.
Tentu
saja, kedudukan Quthaibah sebagai komandan ketika itu sangat mungkin
dan boleh untuk sekadar mengingatkan pemuda itu, tapi hal itu tidak
dilakukannya. Atau setidaknya, Quthaibah sangat berhak menggeser kakinya
untuk tidak terlalu lama terkena pedang pemuda itu, itupun tidak ia
lakukan. Qithaibah benar benar sosok pemimpin yang mengetahui etika
taghaful, agar semata pemuda itu tidak terganggu pembicaraannya. Seperti
itulah akhlak dan sikap pemimpin shalih.
Sikap
yang lebih mulia ditunjukkan oleh Rasulullah saw, ketika orang orang
Thaif melemparinya dengan batu hingga giginya patah dan terjatuh.
Perhatikanlah redaksi doa yang diucapkan Rasullullah saw dalam kondisi
itu, “Semoga Allah mengeluarkan dari keturunan mereka orang yang
menyembah Allah swt, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun” itulah
sikap taghaful yang dilakukan Rasulullah saw, bahkan malaikat gunung pun
takjub dan mengatakan, “Engkau sungguh – sungguh seperti apa yang
dinamakan oleh Rabb-Mu sangat pengasih dan penyayang”.
Itulah
sebabnya, dalam sebuah syair arab disebutkan, “Yang disebut orang kaya
itu belum tentu pemimpin kaumnya, tapi yang mampu menutupi dan berpura
pura tidak tahu dengan kesalahan orang lain, itulah pemimpin sebenarnya”
Begitu
pentingnya akhlak taghaaful ini, perhatikanlah apa yang disampaikan AbiDunia, “Aku mendengar Utsman bin Zaidah mengatakan, “Keselamatan itu ada
sepuluh bagian dan sembilan bagiannya ada pada taghaful”. Ketika hal
itu disampaikan kepada Imam Ahmad bin Hambal, ia mangatakan,
“Keselamatan itu ada pada sepuluh bagian, dan seluruhnya ada pada
taghaaful”
Kunci
taghaaful, salah satunya adalah sikap tawadhu. Dari sikap itu, akan
muncul sikap toleran, mudah memaafkan, lapang dada, ringan memaklumi
kekeliruan yang dilakukan orang lain, tentu saja selama kekeliruan itu
tidak dalam konteks menentang kebenaran yang mutlak dari Allah swt dan
Rasululullah saw. Saudaraku,
Ingat, bagaimana komandan Quthaibah tetap diam meski jari kakinya berdarah…
_sumber:Tarbawi/edisi 251 th.12/9 Mei 2011_
_sumber:Tarbawi/edisi 251 th.12/9 Mei 2011_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar