Minggu, 26 Februari 2012

Renungan..

Dalam sebuah diskusi, seorang peserta yang belum berjilbab mengungkapkan isi hatinya sebagai berikut:
Ia memiliki seorang teman yang sudah berjilbab dan sering mengajaknya mengenakan jilbab. Tapi, muslimah yang sudah berjilbab ini akhlaknya kurang baik, dia masih kurang menjaga hijab dengan lawan jenisnya, bahkan dia masih suka berpacaran dan seringkali menunjukkan sikap yang kurang baik. Akibatnya, ia memilih untuk tidak berjilbab asalkan bisa menjaga dirinya, dari pada berjilbab tapi akhlaknya masih buruk. Bahkan, seringkali dia antipati melihat wanita berjilbab yang belum dikenalnya.

Artinya, setiap kali kita akan berdakwah, bertanyalah pada diri sendiri terlebih dahulu, “Apakah yang akan saya sampaikan sudah sesuai atau belum dengan apa yang sekarang saya lakukan?” atau setidaknya, “Apakah saya sudah berupaya secara maksimal untuk mengamalkan apa yang akan saya sampaikan atau tidak?” atau, “Apakah perbuatan dan akhlak saya sudah mendukung apa yang akan saya sampaikan atau tidak?”
Menyampaikan ilmu atau menganjurkan kebaikan kepada orang lain itu ibarat mengepel lantai sebuah ruangan. Diri kita itu ibarat lap pel, sedangkan yang orang lain itu ibarat lantai. Lap pel harus bersih, jika tidak, maka ruangan itu akan bertambah kotor. Bayangkan!, bila kita mengepel lantai kamar kita dengan lap pel bekas mencuci kotoran. Hasilnya, bukan membersihkan kamar, tapi malah mengotorinya.
Begitupula halnya dengan kasus di atas. Karena muslimah berjilbab yang mengajaknya itu belum sanggup memberikan contoh yang nyata buat temannya, maka akhirnya temannya itu bukannya segera ingin berjilbab, tapi malah mendapatkan citra yang tidak tepat tentang wanita berjilbab. Akhirnya, dakwahnya bukan membuat temannya menjadi berubah menjadi lebih baik, tetapi malah membuatnya makin jauh dari pemahaman tentang islam yang sebenarnya, bahkan mungkin makin jauh dari Allah SWT. Na’uudzubillah min dzaalik.. Karenanya, awalilah selalu dari diri kita sendiri.
Sering juga timbul pertanyaan, “Mana yang lebih baik, wanita yang berjilbab tapi akhlaknya buruk atau wanita yang belum berjilbab tapi akhlaknya lebih terjaga?”.
Kita jadi teringat kisah terkenal Buya Hamka ketika beliau ditanya seseorang, “Ya Buya, saya memiliki 2 orang tetangga; yang satu seorang Insinyur yang tidak suka shalat tetapi akhlaknya baik dan yang satunya lagi seorang Haji yang suka shalat, tetapi akhlaknya buruk. Mana yang lebih baik diantara mereka?”
Beliau menjawab, “Insinyur itu belum suka shalat saja akhlaknya sudah baik, apalagi kalau beliau rajin shalat. Sedangkan Pak Haji itu, syukur beliau suka shalat. Kalau tidak suka shalat, mungkin akhlak beliau lebih buruk dari itu.”
Kisah ini bisa kita analogikan untuk pertanyaan diatas. Akhwat yang belum berjilab itu, belum berjilbab saja akhlaknya sudah baik, apalagi kalau dia sudah bejilbab. Akhwat yang sudah berjilbab itu, syukur dia sudah berjilbab. Jika tidak berjilbab, mungkin akhlaknya jauh lebih buruk dari dia yang belum berjilbab.
Pakaian memang bukan satu-satunya alat ukur untuk menentukan kemuliaan akhlak seseorang.
Muslimah yang pakaiannya sempurna belum tentu akhlaknya baik, tetapi muslimah yang berakhlak baik pasti akan semakin sempurna cara menutup auratnya. Semakin sempurna cara akhwat menutup auratnya maka semakin tinggi peluang akhwat tersebut berakhlak baik. Sebaliknya, semakin tidak sempurna cara akhwat menutup auratnya maka semakin tinggi pula peluang akhwat/perempuan tersebut berakhlak buruk.
Jadi, kalau ada akhwat yang sudah berjilbab tetapi akhlaknya kurang baik, maka solusinya adalah ia harus memperbaiki akhlaknya, bukan berarti ia harus melepaskan atau mengurangi kesempurnaannya berhijab. Sebaliknya, bila ada akhwat akhlaknya baik tetapi belum berjilbab, maka ia tetap harus menyempurnakan hijabnya, karena meyempurnakan hijab adalah kewajiban setiap muslimah. Wallahu‘alam………

dikutip dari blog ZenDiary

1 komentar: