Dalam sebuah diskusi, seorang peserta yang belum berjilbab mengungkapkan isi hatinya sebagai berikut:
Ia
memiliki seorang teman yang sudah berjilbab dan sering mengajaknya
mengenakan jilbab. Tapi, muslimah yang sudah berjilbab ini akhlaknya
kurang baik, dia masih kurang menjaga hijab dengan lawan jenisnya,
bahkan dia masih suka berpacaran dan seringkali menunjukkan sikap yang
kurang baik. Akibatnya, ia memilih untuk tidak berjilbab asalkan bisa
menjaga dirinya, dari pada berjilbab tapi akhlaknya masih buruk.
Bahkan, seringkali dia antipati melihat wanita berjilbab yang belum
dikenalnya.
Artinya,
setiap kali kita akan berdakwah, bertanyalah pada diri sendiri terlebih
dahulu, “Apakah yang akan saya sampaikan sudah sesuai atau belum dengan
apa yang sekarang saya lakukan?” atau setidaknya, “Apakah saya sudah
berupaya secara maksimal untuk mengamalkan apa yang akan saya sampaikan
atau tidak?” atau, “Apakah perbuatan dan akhlak saya sudah mendukung
apa yang akan saya sampaikan atau tidak?”
Menyampaikan
ilmu atau menganjurkan kebaikan kepada orang lain itu ibarat mengepel
lantai sebuah ruangan. Diri kita itu ibarat lap pel, sedangkan yang
orang lain itu ibarat lantai. Lap pel harus bersih, jika tidak, maka
ruangan itu akan bertambah kotor. Bayangkan!, bila kita mengepel lantai
kamar kita dengan lap pel bekas mencuci kotoran. Hasilnya, bukan
membersihkan kamar, tapi malah mengotorinya.
Begitupula
halnya dengan kasus di atas. Karena muslimah berjilbab yang mengajaknya
itu belum sanggup memberikan contoh yang nyata buat temannya, maka
akhirnya temannya itu bukannya segera ingin berjilbab, tapi malah
mendapatkan citra yang tidak tepat tentang wanita berjilbab. Akhirnya,
dakwahnya bukan membuat temannya menjadi berubah menjadi lebih baik,
tetapi malah membuatnya makin jauh dari pemahaman tentang islam yang
sebenarnya, bahkan mungkin makin jauh dari Allah SWT. Na’uudzubillah
min dzaalik.. Karenanya, awalilah selalu dari diri kita sendiri.
Sering juga timbul pertanyaan, “Mana
yang lebih baik, wanita yang berjilbab tapi akhlaknya buruk atau wanita
yang belum berjilbab tapi akhlaknya lebih terjaga?”.
Kita
jadi teringat kisah terkenal Buya Hamka ketika beliau ditanya
seseorang, “Ya Buya, saya memiliki 2 orang tetangga; yang satu seorang
Insinyur yang tidak suka shalat tetapi akhlaknya baik dan yang satunya
lagi seorang Haji yang suka shalat, tetapi akhlaknya buruk. Mana yang
lebih baik diantara mereka?”
Beliau
menjawab, “Insinyur itu belum suka shalat saja akhlaknya sudah baik,
apalagi kalau beliau rajin shalat. Sedangkan Pak Haji itu, syukur
beliau suka shalat. Kalau tidak suka shalat, mungkin akhlak beliau
lebih buruk dari itu.”
Kisah ini bisa kita analogikan untuk pertanyaan diatas. Akhwat
yang belum berjilab itu, belum berjilbab saja akhlaknya sudah baik,
apalagi kalau dia sudah bejilbab. Akhwat yang sudah berjilbab itu,
syukur dia sudah berjilbab. Jika tidak berjilbab, mungkin akhlaknya
jauh lebih buruk dari dia yang belum berjilbab.
Pakaian memang bukan satu-satunya alat ukur untuk menentukan kemuliaan akhlak seseorang.
Muslimah yang pakaiannya sempurna belum tentu akhlaknya baik, tetapi muslimah yang berakhlak baik pasti akan semakin sempurna cara menutup auratnya.
Semakin sempurna cara akhwat menutup auratnya maka semakin tinggi
peluang akhwat tersebut berakhlak baik. Sebaliknya, semakin tidak
sempurna cara akhwat menutup auratnya maka semakin tinggi pula peluang
akhwat/perempuan tersebut berakhlak buruk.
Jadi,
kalau ada akhwat yang sudah berjilbab tetapi akhlaknya kurang baik,
maka solusinya adalah ia harus memperbaiki akhlaknya, bukan berarti ia
harus melepaskan atau mengurangi kesempurnaannya berhijab. Sebaliknya,
bila ada akhwat akhlaknya baik tetapi belum berjilbab, maka ia tetap
harus menyempurnakan hijabnya, karena meyempurnakan hijab adalah
kewajiban setiap muslimah. Wallahu‘alam………dikutip dari blog ZenDiary
bagus banget mbaa rani :') sukaaa :D
BalasHapus